Tidak Ada Rumah Makan Padang Yang Tidak Menggunakan Bleng/Boraks
Tidak Ada Rumah Makan Padang Yang Tidak
Menggunakan Bleng/Boraks
Setelah ditemukannya daging ayam dan sapi yang
mengandung Borax beberapa waktu lalu, ternyata, menurut penelusuran tim Benang
Merah, Global TV, sayuran hijau, kini juga telah turut dijamah bahan kimia
berbahaya ini. Guna menyamarkan identitas aslinya, Borax dilepas ke pasaran
dengan label bleng Bleng alias Borax ini umumnya digunakan untuk mempercepat
empuknya sayur mayur yang dimasak sekaligus memberikan aroma sedap, serta
mempertahankan warna hijau dari sayur lebih lama.
Konsumer utama Borax ini, berdasarkan penulusuran
dan wawancara yang dilakukan oleh tim Benang Merah, ialah para pengelola rumah
makan Padang .
“Tidak ada rumah makan Padang yang tidak
menggunakan bleng,” aku salah seorang pemilik rumah makan Padang yang disamarkan
identitasnya.
Sungguh menggiurkan bilamana melihat sajian sayur
singkong hijau dengan paduan kuah kari dan sambal hijau dalam seporsi nasi
Padang saat rehat makan siang. Selain sedap, kata mama, sayur juga mengandung
vitamin dan mineral yang melimpah. Keduanya sangat dibutuhkan guna memperlancar
metabolisme tubuh kita, imbuh guru Biologi kita dahulu, jika kita masih
ingat.
Semuanya memang tidak salah. Akan tetapi, bila
sayur yang katanya sarat zat-zat yang esensial bagi tubuh itu terkontaminasi
dengan bahan-bahan kimia yang berbahaya, apa yang terjadi? Bukan sehat yang
didapat, malah sebaliknya, penyakit menyerang, atau mungkin pada gilirannya
nanti,l kematian menjemput. Tentu kita semua tidak mau, kan ? Maka dari itu kita
semua harus mulai berhati-hati.
Daun singkong dalam menu masakan Padang sifatnya
wajib ada. Namun, setelah dimasak, rupanya daun singkong ini cepat berubah warna
menjadi kehitaman. Sebab itu, bleng menjadi solusi ampuh mengatasi masalah sayur
singkong yang cepat menghitam ini. Menurut mereka, saat memakai bleng, daun
singkong lebih cepat masak, juga tahan lebih lama.
Masalahnya, mereka, para pedagang dan pemilik
rumah makan ini, tidak tahu menahu bahwa bleng adalah nama lain Borax. Mereka
menganggap, dengan nama yang tidak identik, maka kandungannya pun jauh berbeda.
Padahal, bleng merupakan cap yang tak lain hanya nama lain dari Borax. Di
samping itu, sosialisasi yang dilakukan Badan POM masih amat minim. Akibatnya
bleng a.k.a Borax ini masih bisa beredar bebas di pasaran tanpa ada inspeksi
maupun penanganan lebih lanjut.
Bahayanya?
Bleng atau Borax, merujuk pada pernyataan Ilyani
S. Andang, seorang peneliti YLKI, sudah tidak diperkenankan, bahkan dilarang,
digunakan sebagai bahan tambahan makanan. Zat ini diduga mempunyai sifat
racun.
“Efek Borax memang tidak tampak secara instan,
melainkan akumulatif. Pada fase awal, Borax dapat menimbulkan gangguan
pencernaan, pusing, atau mual. Namun, bila sudah mencapai tahapan akut, Borax
dapat memicu kanker, juga bahkan kematian,” tuturnya saat diwawancarai tim
Benang Merah.
Wikipedia pun melansir data yang serupa.
Disebutkan, kendati Borax bukan benar-benar racun, bukan berarti penggunaannya,
juga termasuk di dalamnya, konsumsi, aman. Dalam terpaan sederhana, Borax mampu
menimbulkan iritasi kulit dan pernafasan. Konsumsi Borax juga mampu memicu rasa
mual, muntah-muntah, sakit perut akut, dan diarrhea (mencret). Pada konsumsi
lanjut, seseorang bisa terkena respiratory depression (chan-gangguan pernapasan
berat), erythematous, juga gagal ginjal.
Karena itulah, masyarakat perlu berhati-hati.
Apalagi mendeteksi keberadaan Borax di sayur agak susah. Selain itu, masyarakat
umum masih berpikir, sayur yang masih hijau setelah dimasak ialah sayur yang
kandungan vitamin dan mineralnya masih banyak, tidak hilang bersama air rebusan
atau sebagainya. Tetapi, pada kenyataannya tidak selalu begitu. Maka dari itu,
mulai sekarang kita harus mulai waspada!
Tak hanya masakan Padang
Temuan penggunaan Borax pada pengolahan sayur
ternyata tidak hanya ada di rumah makan Padang . Penjual sayur pecel keliling,
juga mengaku menggunakan bleng alias Borax ini sebagai bahan tambahan saat
memasak.
“Saya pakai bleng saat merebus kecambah, kacang
panjang, kangkung, bayam, juga sayur lain yang menjadi bahan dasar pecel.”
Begitu ungkap salah seorang wanita penjual pecel keliling di Jakarta
.
Alasannya memakai bleng serupa dengan yang
diutarakan pemilik rumah makan Padang di atas. Akunya, sayur yang direbus lebih
cepat matang dan tahan lebih lama dibanding tanpa menggunakan bleng. Yang lebih
menariknya menggunakan bleng adalah karena harganya murah dan tersedia banyak di
pasaran.
Selamatkan kami yang tidak
tahu!
Melihat kenyataan tersebut, kita patut bersedih.
Pasalnya, kita tahu semua, Indonesia memiliki Badan Pengawasan Obat dan Makanan
(Badan POM) yang bertugas mengawasi obat-obatan serta makanan yang beredar luas
di Indonesia . Akan tetapi, sepertinya, untuk kasus di atas, peranan badan ini
tak begitu kentara.
Badan POM kelihatannya tidak akan bertindak sampai
kasus ini diangkat media dan menjadi bahan pembicaraan khalayak ramai. Baru,
jika sampai tahap ini, Badan POM mulai beraksi. Seharusnya, sebagai badan yang
diberi kewenangan untuk menjaga serta mengawasi obat dan makanan di Indonesia,
Badan POM lebih proaktif. Bukan hanya menunggu sampai ada yang meninggal, lalu
masuk berita televisi, baru mereka mau bergerak. Inspeksi plus sosialisasi harus
lebih gencar dilakukan Badan ini, supaya tak ada lagi bahan kimia berbahaya yang
beredar dan menghantui masyarakat Indonesia dengan rasa was-was pada setiap
makanan yang mereka makan sehari-hari.
Bila memang Badan POM masih belum bisa proaktif,
media, sebagai pihak yang punya kuasa mengatur agenda publik, hendaknya terus
memuat reportase-reportase maupun kasus berkenaan dengan penggunaan Borax dalam
makanan. Selain agar masyarakat tahu dan awas, Badan POM juga diharapkan
tersentil menyaksikan berbagai berita yang ditayangkan media. Ini semua demi
menyelamatkan konsumen, yang tak lain ialah seluruh bangsa Indonesia
sendiri.
Di samping dua hal tersebut, secara lebih ilmiah,
Ilyani menyatakan, Borax dapat diganti dengan STPP, karena selain aman, STPP
juga berizin sebagai bahan tambahan makanan di
Indonesia.